AI

|

in this topic.

Jaksa Agung Missouri Selidiki Kenapa AI Chatbot 'Tidak Suka' Donald Trump

Richard

Jumat, 11 Juli 2025 pukul 12.36

Ringkasan

Dibuat oleh AI

Jaksa Agung Missouri, Andrew Bailey, meluncurkan investigasi terhadap empat raksasa teknologi — Google, Microsoft, OpenAI, dan Meta — karena AI chatbot mereka dianggap menunjukkan bias terhadap Donald Trump. Penyelidikan ini didasari ranking subjektif soal presiden AS dari terbaik ke terburuk dalam hal antisemitisme, di mana Trump ditempatkan terakhir. Bailey menyebut ini sebagai "praktik bisnis menipu" dan menuduh adanya sensor. Namun banyak pihak melihat ini sebagai langkah politik semata yang absurd dan salah sasaran, terutama karena bahkan salah satu chatbot yang dituduh sebenarnya tidak menjawab pertanyaannya.

Jaksa Agung dari Partai Republik di negara bagian Missouri, Andrew Bailey, tengah menyelidiki empat perusahaan teknologi besar — Google (Gemini), Microsoft (Copilot), OpenAI (ChatGPT), dan Meta (Meta AI). Alasannya? Karena chatbot mereka menempatkan Donald Trump di posisi terakhir dalam permintaan untuk "meranking lima presiden terakhir dari terbaik ke terburuk dalam hal antisemitisme."

Dalam rilis pers dan surat resminya, Bailey menuduh chatbot-chatbot ini telah menyebarkan informasi menyesatkan, dan tidak menyampaikan fakta sejarah secara objektif. Ia meminta akses ke semua dokumen internal yang berkaitan dengan penyensoran, penurunan ranking, atau manipulasi hasil, termasuk seluruh proses pelatihan model AI mereka. Ya, itu artinya dia minta akses ke hampir semua hal tentang cara kerja LLM.

“Kenapa chatbot Anda memberikan jawaban yang seolah mengabaikan fakta sejarah objektif, demi narasi tertentu?” tulis Bailey.

Pertanyaan Subjektif Tapi Diperlakukan Seperti Fakta

Yang bikin heran? Pertanyaan "rank dari terbaik ke terburuk" itu adalah pertanyaan subjektif — jelas bukan sesuatu yang punya satu jawaban benar. Bahkan situs seperti The Verge bercanda, “Kami tunggu aja kalau Bailey nanti juga menyelidiki ranking laptop terbaik 2025.”

Tambahan lagi, chatbot sering banget salah dalam menjawab fakta dasar. Jadi membuat kasus hukum berdasarkan opini yang diminta secara eksplisit dari AI? Hmm… agak nekat.

Microsoft Copilot Yang Netral, Tetep Kena Imbasnya

Yang paling parah, Microsoft Copilot ternyata tidak menjawab permintaan ranking tersebut, menurut sumber awal dari blog konservatif yang menguji enam chatbot berbeda (termasuk Grok milik X dan DeepSeek dari Tiongkok). Tapi entah kenapa, Bailey tetap mengirim surat ancaman ke Microsoft dan menuduh mereka ikut "menjatuhkan Trump."

Bahkan dalam suratnya, Bailey secara tidak sengaja mengakui bahwa hanya tiga dari empat chatbot yang "menempatkan Trump di posisi terakhir." Jadi… kenapa Copilot tetap ditarget?

Bailey juga menyebut bahwa "sensor oleh Big Tech terhadap Trump" seharusnya membuat perusahaan-perusahaan ini kehilangan perlindungan hukum dari Section 230 — hukum yang melindungi platform dari tuntutan atas konten pengguna mereka. Tapi lagi-lagi, teori hukum semacam ini sudah sering dibantah para ahli sebagai tidak berdasar.

Sebagai catatan, Bailey sebelumnya juga mencoba menyelidiki Media Matters karena melaporkan iklan pro-Nazi di X, namun gagal total. Jadi, kemungkinan besar penyelidikan soal chatbot ini juga tidak akan ke mana-mana.

Investigasi atau Gimmick Politik?

Ada banyak diskusi serius tentang bagaimana chatbot harus menangani informasi sensitif dan permintaan subjektif. Tapi tindakan Bailey ini terlihat lebih seperti usaha menakut-nakuti perusahaan teknologi karena mereka tidak cukup "memuji Trump." Apalagi kalau sampai salah menghitung chatbot yang menjawab — math skills-nya bisa-bisa lebih buruk dari AI itu sendiri.

Jaksa Agung Missouri Selidiki Kenapa AI Chatbot 'Tidak Suka' Donald Trump

Richard

Jumat, 11 Juli 2025 pukul 12.36

AI

|

in this topic.

Ringkasan

Dibuat oleh AI

Jaksa Agung Missouri, Andrew Bailey, meluncurkan investigasi terhadap empat raksasa teknologi — Google, Microsoft, OpenAI, dan Meta — karena AI chatbot mereka dianggap menunjukkan bias terhadap Donald Trump. Penyelidikan ini didasari ranking subjektif soal presiden AS dari terbaik ke terburuk dalam hal antisemitisme, di mana Trump ditempatkan terakhir. Bailey menyebut ini sebagai "praktik bisnis menipu" dan menuduh adanya sensor. Namun banyak pihak melihat ini sebagai langkah politik semata yang absurd dan salah sasaran, terutama karena bahkan salah satu chatbot yang dituduh sebenarnya tidak menjawab pertanyaannya.

Jaksa Agung dari Partai Republik di negara bagian Missouri, Andrew Bailey, tengah menyelidiki empat perusahaan teknologi besar — Google (Gemini), Microsoft (Copilot), OpenAI (ChatGPT), dan Meta (Meta AI). Alasannya? Karena chatbot mereka menempatkan Donald Trump di posisi terakhir dalam permintaan untuk "meranking lima presiden terakhir dari terbaik ke terburuk dalam hal antisemitisme."

Dalam rilis pers dan surat resminya, Bailey menuduh chatbot-chatbot ini telah menyebarkan informasi menyesatkan, dan tidak menyampaikan fakta sejarah secara objektif. Ia meminta akses ke semua dokumen internal yang berkaitan dengan penyensoran, penurunan ranking, atau manipulasi hasil, termasuk seluruh proses pelatihan model AI mereka. Ya, itu artinya dia minta akses ke hampir semua hal tentang cara kerja LLM.

“Kenapa chatbot Anda memberikan jawaban yang seolah mengabaikan fakta sejarah objektif, demi narasi tertentu?” tulis Bailey.

Pertanyaan Subjektif Tapi Diperlakukan Seperti Fakta

Yang bikin heran? Pertanyaan "rank dari terbaik ke terburuk" itu adalah pertanyaan subjektif — jelas bukan sesuatu yang punya satu jawaban benar. Bahkan situs seperti The Verge bercanda, “Kami tunggu aja kalau Bailey nanti juga menyelidiki ranking laptop terbaik 2025.”

Tambahan lagi, chatbot sering banget salah dalam menjawab fakta dasar. Jadi membuat kasus hukum berdasarkan opini yang diminta secara eksplisit dari AI? Hmm… agak nekat.

Microsoft Copilot Yang Netral, Tetep Kena Imbasnya

Yang paling parah, Microsoft Copilot ternyata tidak menjawab permintaan ranking tersebut, menurut sumber awal dari blog konservatif yang menguji enam chatbot berbeda (termasuk Grok milik X dan DeepSeek dari Tiongkok). Tapi entah kenapa, Bailey tetap mengirim surat ancaman ke Microsoft dan menuduh mereka ikut "menjatuhkan Trump."

Bahkan dalam suratnya, Bailey secara tidak sengaja mengakui bahwa hanya tiga dari empat chatbot yang "menempatkan Trump di posisi terakhir." Jadi… kenapa Copilot tetap ditarget?

Bailey juga menyebut bahwa "sensor oleh Big Tech terhadap Trump" seharusnya membuat perusahaan-perusahaan ini kehilangan perlindungan hukum dari Section 230 — hukum yang melindungi platform dari tuntutan atas konten pengguna mereka. Tapi lagi-lagi, teori hukum semacam ini sudah sering dibantah para ahli sebagai tidak berdasar.

Sebagai catatan, Bailey sebelumnya juga mencoba menyelidiki Media Matters karena melaporkan iklan pro-Nazi di X, namun gagal total. Jadi, kemungkinan besar penyelidikan soal chatbot ini juga tidak akan ke mana-mana.

Investigasi atau Gimmick Politik?

Ada banyak diskusi serius tentang bagaimana chatbot harus menangani informasi sensitif dan permintaan subjektif. Tapi tindakan Bailey ini terlihat lebih seperti usaha menakut-nakuti perusahaan teknologi karena mereka tidak cukup "memuji Trump." Apalagi kalau sampai salah menghitung chatbot yang menjawab — math skills-nya bisa-bisa lebih buruk dari AI itu sendiri.

Veirn.

Uncover the art and innovation of Gaming in our blog, where we explore Technology trends, Gaming Market structures, and the creative minds shaping the built environment.

Veirn.

Uncover the art and innovation of Gaming in our blog, where we explore Technology trends, Gaming Market structures, and the creative minds shaping the built environment.

Veirn.

Uncover the art and innovation of Gaming in our blog, where we explore Technology trends, Gaming Market structures, and the creative minds shaping the built environment.